
Donald Trump berjanji untuk membawa perdamaian ke wilayah-wilayah konflik, termasuk Gaza dan Ukraina.
Namun, kini Trump justru menghadapi tantangan besar lainnya, yakni bagaimana menanggulangi program nuklir Iran.
Pemerintahannya tengah merencanakan putaran kedua pembicaraan dengan Iran pada Sabtu (19/4/2025) di Roma.
Meskipun pembicaraan ini masih berada di tahap awal, beberapa sumber yang diberi pengarahan tentang pertemuan tersebut mengatakan, kedua belah pihak mungkin akan mencapai kesepakatan sementara sebelum mencapai kesepakatan yang lebih rinci.
Tetapi, upaya diplomatik ini tidak berjalan mulus. Ketegangan semakin meningkat dengan ancaman berulang dari Trump yang mengatakan ia siap mengebom situs nuklir Iran jika kesepakatan tidak tercapai.
Trump yang semula mengeklaim dirinya sebagai pembawa perdamaian, kini semakin mendorong Amerika Serikat ke dalam potensi konflik baru di Timur Tengah.
Dalam pernyataannya pada Kamis, Trump menegaskan tidak terburu-buru untuk menyerang Iran dan bahwa negosiasi adalah pilihan pertama.
“Jika ada pilihan kedua, saya pikir itu akan sangat buruk bagi Iran,” kata Trump dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni. Ia juga berharap Iran bersedia berbicara, karena itu akan sangat baik bagi negara tersebut.
Steve Witkoff, yang ditunjuk untuk memimpin upaya negosiasi AS dengan Iran, memiliki tantangan besar untuk menyeimbangkan diskusi mengenai masalah nuklir Iran, serta untuk mengakhiri perang di Gaza dan Ukraina.
Witkoff, yang memiliki saluran langsung ke Trump, diharapkan dapat memberikan sinyal positif kepada Iran, meskipun beberapa pihak meragukan kemampuannya mengatasi kompleksitas perundingan ini.
Di sisi lain, Iran yang sudah lama skeptis terhadap negosiasi dengan AS, semakin memperketat sikapnya.
Dikutip dari The Arab Weekly, Sabtu (19/4/2025), Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan prinsip pengayaan uranium tidak dapat dinegosiasikan.
Meskipun sanksi yang dijatuhkan terhadap Iran telah mendorong negara tersebut untuk kembali ke meja perundingan.
Sejak penarikan diri Trump dari perjanjian nuklir internasional dengan Iran pada masa jabatannya yang pertama, Iran telah melampaui batasan pengayaan uranium yang disepakati dalam kesepakatan 2015.
Kini Iran memproduksi stok uranium dengan tingkat kemurnian tinggi, mendekati kebutuhan untuk membuat senjata nuklir.