
Maaloula (atau Ma’lula) yang bertengger di puncak gunung batu kapur di Suriah barat, seorang pastor mengayunkan dupa, memandu umat dalam lantunan nyanyian liturgis yang syahdu, dan menyampaikan khotbah bertema klasik tentang pentingnya mencintai sesama manusia.
Namun saat misa selesai dan umat duduk untuk menikmati kopi bersama, kekhawatiran tentang masa depan Suriah mencuat.
Apakah kelompok pemberontak berhaluan Islam, yang telah menggulingkan Bashar al-Assad pada Desember tahun lalu, akan melarang konsumsi daging babi dan alkohol, mewajibkan kaum perempuan berpakaian tertutup, atau membatasi ibadat umat Kristen? Akankah pasukan keamanan yang baru bisa melindungi warga Kristen dari serangan kelompok ekstremis?
“Belum ada hal yang membuat kami merasa situasi menjadi lebih baik,” kata Mirna Haddad, seorang umat, kepada New York Times.
Di sudut lain kota tua Maaloula itu, kelompok minoritas Muslim menyimpan kegelisahan yang berbeda. Seperti para tetangganya yang Kristen, mereka juga meninggalkan rumah saat perang saudara Suriah pecah. Namun berbeda dari orang-orang Kristen, mereka dilarang untuk kembali oleh rezim Assad dan milisi Kristen yang didukung rezim tersebut.
“Masalahnya adalah mayoritas,” ujar Omar Ibrahim Omar, merujuk pada orang-orang Kristen di kota itu. Omar merupakan pemimpin komite keamanan lokal yang baru terbentuk. Dia baru bisa kembali ke Maaloula setelah Assad terjungkal. Itu berarti, dia lebih dari sepuluh tahun dilarang masuk ke kota tersebut.
“Kami tidak akan membiarkan itu terjadi lagi,” katanya dengan tegas sebagaimana dikutip New York Times.
Penduduk Masih Gunakan Bahasa Aram
Maaloula, yang terletak di antara tebing-tebing terjal batu kapur sekitar 56 kilometer di timur laut ibu kota Damaskus, telah lama menjadi simbol akar Kristen yang tua di Suriah dan merupakan bagian penting dari keragaman agama di negara itu. Kota itu merupakan salah satu komunitas langka di mana penduduknya masih menggunakan bahasa Aram, bahasa yang dulu digunakan Yesus.
(Bahasa Aram awalnya digunakan orang-orang Aram, bangsa kuno di Timur Tengah, pada sekitar akhir abad ke-11 sebelum Masehi. Sekitar abad ke-8 SM, bangsa Asyur mulai menggunakannya sebagai bahasa kedua. Pada abad ke-7 dan ke-6 SM, bahasa Aram mulai menggantikan bahasa Akkadia sebagai bahasa umum di Timur Tengah.
Dialek-dialek bahasa Aram masih bertahan hingga zaman Romawi, terutama di wilayah Palestina dan Suriah. Di kalangan orang Yahudi, bahasa Aram digunakan oleh masyarakat umum, sedangkan bahasa Ibrani tetap menjadi bahasa keagamaan, pemerintahan, dan kaum elite. Yesus dan para rasul diyakini berbicara dalam bahasa Aram. Bahasa Aram terus digunakan secara luas hingga sekitar tahun 650 M, ketika akhirnya digantikan bahasa Arab.)